Banyak sekali cara pandang atau paradigma dalam dunia keilmuan yang
terjadi pada masing-masing individu yang kini dianggap sudah biasa karena
perbedaan itu dapat menguatkan kebenaran satu ilmu atau bahkan menolak ilmu
tersebut dengan kebenaran yang lain sehingga akan menghasilkan berbagai macam
ilmu yang sebenarnya ilmu-ilmu itu benar karena sudah dibuktikan. Sama halnya
dengan cara pandang terhadap dunia keilmuan di dalam pesantren dan kampus yang
sama-sama menjadi tempat untuk menuntut ilmu. Dan tujuan tulisan ini adalah
untuk mencoba menjawab perbedaan-perbedaan yang terjadi tersebut sesuai dengan
hasil kuliah lapangan di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran yang beralamatkan di dusun Candi, desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik,
Kabupaten Sleman. Dengan melakukan kuliah lapangan, penulis mendapatkan
fakta-fakta menarik sebagai bahan yang memudahkan penulis untuk menyelesaikan
tulisan tentang perbedaan cara pandang keilmuan di pesantren dan di kampus ini.
Dalam membahas masalah perbedaan capa pandang keilmuan di pesantren dengan
kampus, penulis mengkaji melalui tiga dimensi keilmuan yaitu ontologi, epistemologi,
dan aksiologi.
Sebelum membahas masalah perbedaan diatas, penulis akan
menyampaikan biografi singkat dari pemimpin pesantren. Pesantren identik dengan
adanya sosok Kiai yang memimpin, samadenganhalnya pesantren ini juga memiliki
pemimpin atau Kiai yaitu KH. Mufid Mas’ud.
Beliau mendapatkan bimbingan keagamaan langsung dari orang tua, pendidikan
dasar KH Mufid Mas’ud ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah Manbaul ‘Ulum cabang Solo
selama lima tahun, yaitu mulai tahun 1937 hingga 1942, kemudian beliau melanjutkan
nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di tahun 1950, KH Mufid menikah
dengan putri KH. Munawir (pengasuh Pesantren Krapyak), Hj. Jauharoh dan ejak
saat itu, KH Mufid termasuk salah satu pengasuh Pesantren Al-Munawwir, Krapyak,
Yogyakarta (Anonim 2010).
Meski demikian, beliau masih tetap mengaji Al-Qur’an kepada KH Abdul
Qadir dan KH Abdullah Affandi. Sedangkan untuk memperdalam ilmu-ilmu
keislamannya, beliau mengaji kitab kepada KH Ali Maksum. Beliau menyampaikan
bahwa di dalam menuntut ilmu ada hal lain yang harus dijalankan oleh seorang
pencari ilmu agar mendapatkan ilmu yang berkah yaitu ‘shuhbatu ustazin’ atau taat dan bersahabat
karib dengan guru seperti yang disampaikan oleh Imam Syafi’I (Anonim 2010).
Menurut Nasir (2005), kepemimpinan Kiai dapat merupakan pola-pola
yang mengandung dua unsur dominan karismatik-tradisional atau
tradisional-rasional, atau dapat merupakan pola-pola di mana ketiga unsur itu
ada yakni karismatik-tradisional-rasional hanya saja salah satunya lebih
menonjol. Bersamaan dengan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran yang menggunakan
mahzab Khanafi yang mengutamakan rasionalitas maka gaya kepemimpinan KH Mufid
Mas’ud juga menggunakan pola kepemimpinan rasional yang dipandang lebih sesuai
untuk memacu perkembangan pendidikan pondok pesantren. Dengan alasan perlu
adanya kesinambungan pesantren, kepemimpinan pesantren, bila dipandang perlu,
bisa diteruskan oleh orang-orang yang bukan dari keluarga Kiai pendiri.
Dimensi ontologi akan dimulai dengan pernyataan dari A’la (2006) yang
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan menempati posisi signifikan dalam Islam.
Melalui ilmu pengetahuan, manusia dibedakan dengan makhluk-makhluk lain,
termasuk malaikat. Oleh karena itu, ketika Allah menciptakan Adam, Ia secara
bersamaa membekalinya dengan pengetahuan. Pengetahuan diturunkan Allah sebagai
bekal manusia dalam rangka memikul amanah kekhalifahan, yaitu pemanfaatan alam
secara lestari, seimbang, dan berwawasan lingkungan, serta penuh kearifan.
Manusia dituntut agar bisa menguasai selain ilmu syari’ah dan ‘aqliyah, juga aspek yang tidak
kalah penting adalah pengamalannya yang utuh dalam bentuk pengembangan
moralitas. Melalui penguasaan ilmu dan pengembangan moral itu, manusia mampu mengetahui tabiat alam secara
tepat sehingga dapat memanfaatkan sebaik mungkin sesuai dengan sifat dan
kemampuan alam, serta mampu digunakan dan disebarkan untuk diabdikan kepada
kepentingan dan kebaikan umat manusia.
Dalam kehidupan di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran yang paling
utama adalah mempelajari ilmu agama yang bepegang atau bersumber pada
Al-Qur’an, Hadist, dan kitab-kitab yang wajib dipelajari seperti kitab kuning
atau kitab
Ta’limun Muta’alim dan tidak ada sumber lain yang dapat menggantikan ketiganya
karena dalam mempelajari ilmu agama hanya terbatas pada sumber-sumber tersebut.
Hal ini sesuai dengan geneologi keilmuan (spesifikasi) yang dianut oleh
pesantren yaitu menghafal Al-Qur’an (tahfidz). Geneologi keilmuan yang dianut
oleh satu pesantren tidak lepas dari sejarah terbangunnya pesantren itu atau
jaringan yang dimiliki oleh penggagas pendirian pesantren tersebut. Seperti
pesantren ini yang dipimpin oleh KH. Mufid Mas’ud yang
merupakan lulusan santri dari Pesantren Krapyak yang
mempunyai spesifikasi menghafal Al-Qur’an maka di pesantren yang didirikannya
juga memiliki spesifikasi menghafal Al-Qur’an.
Dalam mempelajari ilmu agama yang dilakukan adalah menghafal
Al-Qur’an dan mengerti segala sesuatu yang terdapat di dalamnya dan kemudian
mengamalkannya, memahami dan menjalankan sifat-sifat dan apa-apa yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW yaitu yang tertera dalam hadits dan mempelajari serta
menghafal semua yang berada dalam kitab kuning. Namun pesantren ini juga
tidak melupakan ilmu-ilmu yang dipelajari pada pendidikan formal yang
bermanfaat untuk kehidupan di dunia. Segala ilmu-ilmu
dalam pendidikan formal yang dipelajari
didasarkan pada sumber-sumber di atas juga dalam beribadah, berperilaku,
dan kehidupan bermasyarakat. Selain itu, di pesantren terdapat tradisi-tradisi
yang tidak tertulis atau lebih dikenal dengan tradisi lisan yang tertanam lebih
kuat secara turun temurun.
Sesuai dengan paragraf keempat di atas, Pondok Pesantren Sunan
Pandanaran menggunakan mahzab Khanafi yang merupakan mahzab yang mengutamakan
rasionalitas. Di pesantren ini rasionalitas dalam keilmuan memang diutamakan
namun dengan adanya rasionalitas itu tidak akan menyebabkan berkurangnya
tingkat keimanan atau kepercayaan santri terhadap agama Islam. Dengan adanya
cara berpikir yang rasional maka siswa atau santri di pesantren tersebut ditekankan pada
pemahaman akal secara rasional empiris dalam mengkaji ilmu agama dan dituntut untuk memiliki kualitas akademik yang tinggi atau
memiliki intelektualitas. Bahkan karena tuntutan perubahan zaman, saat ini
seorang Kiai yang mempunyai pengetahuan ilmu yang paling tinggi harus
melanjutkan pendidikan formal sampai sarjana dan bahkan sampai memperoleh gelar
profesor di universitas luar negeri.
Kenyataan di atas berbeda sekali dengan keilmuan di kampus yang
mempelajari ilmu-ilmu umun dan memiliki banyak sekali sumber atau literatur
sebagai penunjang yang disediakan di perpustakaan. Literatur-literatur
penunjang tersebut dapat melengkapi satu dengan yang lain bahkan dapat
menggantikan literatur lainnya. Selain itu, kampus tidak memiliki geneologi
seperti di pesantren yang hanya fokus pada satu macam bidang tertentu namun
mencakup semua bidang. Hanya terjadi peniruan nama fakultas dan jurusan dari
satu kampus oleh kampus lain karena pihak peniru biasanya mengambil ilmu dari
yang ditirukan. Kampus dalam menggunakan rasionalitas lebih diutamakan karena
ilmu dianggap sesuatu yang dihasilkan dari pemikiran manusia yang dapat
diterima oleh akal sehat (rasional) dan dapat dibuktikan dan ilmu yang
irasional ditolak mentah-mentah karena tidak dapat diterima dengan akal sehat
dan sulit untuk dibuktikan. Termasuk tradisi yang tidak tertulis juga tidak
dapat diterima di kampus karena sulit dibuktikan.
Epistemologi keilmuan di pesantren menurut A’la
(2006) metode belajar mengajar yang
tepat yang harus bermuara kepada aktivitas yang sarat nilai-nilai kependidikan,
yaitu ilmu dan amal sekaligus untuk dikembangkan. Al-Attas (dikutip oleh A’la
2006) proses tersebut hendaknya merupakan kegiatan pengenalan dan pengakuan
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam keteraturan penciptaan
yang dapat membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan wujud Tuhan yang tepat
dalam tatanan ini. Pada saat yang sama, hal itu akan menyadarkan untuk
mengamalkannya sesuai nilai dan ajaran yang terdapat dalam pengetahuan
tersebut. Secara konkret, kegiatan yang harus dijalani dalam proses belajar
mengajar melibatkan dua aspek kegiatan pokok, ta’allum dan tafakkur. Yang
pertama mensyaratkan usaha yang sungguh-sungguh untuk memperoleh pengetahuan
melalui pemahaman yang benar, sedang yang kedua meniscayakan upaya reflektif
(tafakkur) tentang hakikat ilmu, kegunaan, dan tujuannya.
Ilmu-ilmu yang didapatkan di pesantren berasal dari Al-Qur’an
sebagai wahyu Allah SWT yang memiliki kekekalan, hadits yang berisi
ajaran-ajaran yang diberikan Rasulullah serta perilakunya, selain itu juga
terdapat kitab kuning. Dalam mempelajari ilmu, terdapat beberapa metode atau
sistem pembelajaran yang diterapkan di pesantren yang diantaranya paling sering
dipergunakan adalah sistem Sorogan dan sistem Bandongan serta menggunakan
sistem lain yang baru dan lebih baik. Sistem Sorogan merupakan cara
pembelajaran saat Kiai ataupun ustadz mengajarkan Al-Qur’an dan hadits kitab
kuning para santri mendengarkan dan bila perlu mencatat yang penting agar
memudahkannya dalam menghafal. Pada waktunya santri yang sudah belajar akan
menyetorkan hasil belajarnya yaitu berupa hafala kepada Kiai maupun ustadz
sebagai syarat kelulusan nyantri.
Sedangkan metode Bandongan merupakan cara belajar hanya dengan
mendengarkan apa saja yang diberikan oleh Kiai maupun ustadz secara terperinci
kemudian mencatatnya dan menyimpulkan sendiri. Kedua metode ini tidak
memberikan batas waktu kepada para santrinya dalam hal kelulusan seperti di
kampus. Di pesantren jika santri memang benar-benar belum dapat menghafalkan
secara baik dan benar maka akan diberikan kesempatan sampai mereka benar-benar
hafal dengan baik dan benar. Dari kedua metode atau sistem tersebut, yang
sering digunakan adalah sistem Sorogan karena dianggap paling efektif dan
efisien. Dengan sistem Sorogan, siswa dapat lebih tahu bagaimana
pengucapan-pengucapan yang benar dalam membaca Al-Qur’an dan hadits serta kitab
kuning dengan memerhatikan secara langsung pengucapan yang benar dari Kiai
maupun ustadz. Dalam pengajaran sistem Sorogan maupun sistem Bandongan yang
paling berperan aktif adalah ustadz karena jumlah santri yang sangat banyak
jadi Kiai tidak dapat mengajar seluruhnya dan juga karena Kiai yang sedang
melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.
Menurut Nasir (2005) pesantren telah mampu mempertahankan
keberadaanya dari zaman ke zaman, pesantren selalu mengalami perubahan dan
pergeseran sesuai dengan konteks zamannya. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren
memiliki daya elastis tinggi dan menunjukkan pandangan yang terbuka dengan
sistem di luar dirinya. Pondok pesantren yang demikian, karena pengasuhnya
(Kiai) mempunyai wawasan yang luas dan senantiasa berpegang pada kaidah “Memelihara yang baik dari tradisi lama, dan
mengambil yang lebih baik dari perubahan baru”. Kaidah inilah yang
menjadikan pondok pesantren maju dan tidak kehilangan ciri khasnya (identitas).
Berbeda dengan sistem perkuliahan di kampus yang menggunakan
berbagai macam cara seperti pengajaran langsung, diskusi, presentasi mahasiswa,
kuliah lapangan, praktek, dan lain sebagainya yang diantara itu sebenarnya
tidak jauh beda dengan sistem yang diterapkan di pesantren. Sistem-sistem
tersebut menuntut mahasiswa untuk lebih aktif dalam proses perkuliahan karena
dosen hanya menyampaikan konsep-konsep. Mahasiswa juga dituntut untuk dapat
menganalisis sendiri mengenai kejadian-kejadian dan konsep-konsep yang
diberikan oleh dosen guna mengembangkan kemampuan keilmuannya. Selain itu, di
kampus terdapat sistem kredit atau batas limit waktu. Contohnya jika mahasiswa
tidak lulus pada mata kuliah tertentu pada semester gasal maka ia juga harus
mengulang disemeter gasal tidak dapat langsung mengulang pada semester
berikutnya atau disemester genap.
Aksiologi keilmuan di pesantren dengan di kampus terdapat kesamaan
namun juga terdapat perbedaannya. Persamaannya adalah setiap ilmu yang
didapatkan harus diamalkan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi pesantren, sebaik-baiknya ilmu itu lebih baik lagi ilmu yang dijadikan
sebagai perilaku sehari-hari dengan kata lain diamalkan agar tidak hanya
sebagai wacana saja. Pengamalan ilmu di pesantren dilakukan secara kontinyu
(rutinitas) karena tujuan dari pesantren adalah pembiasaan (Istiqomah) untuk
menjaga rutinitas. Pengamalan ilmu di dalam kehidupan sosial di pondok maupun di
luar pondok haruslah baik sesuai dengan kaidah agama begitu pula dengan santri
yang sudah keluar dari pondok. Selain mengimplementasikan ilmunya dalam
kehidupan sehari-hari, santri yang lebih senior membagi ilmu yang dimilikinya
pada sesama santri ataupun yang lebih junior dan itu tumbuh dari kesadaran
diri.
A’la (2006) menyampaikan setelah mengerti dan mendapatkan ilmu serta
tahu manfaat dan tujuannya maka santri seharusnya mengamalkannya secara
kreatif, bertanggung jawab, serta tetap berpijak pada nilai-nilai moral
(seperti keikhlasan, kemandirian, tawadhu’) yang dikaitkan dengan tuntutan
kehidupan yang terus berkembang. Nilai-nilai moral itulah yang akan
mengantarkan manusia pada fitrahnya sebagai theomorfic being, yakni sebagai
manusia yang berupaya berperilaku sesuai sifat-sifat Allah dan mewartakan misi
kerasulan Nabi. Pada gilirannya, hal itu akan menjadikan manusia selalu
berupaya mencapai kualitas, dan bukan kuantitas, serta perolehan nilai-nilai
kesalehan, bukan kesasehan semata. Konkretnya, pendidikan di pesantren adalah
proses dua arah yang melibatkan pemberian pengetahuan sebagai upaya pemberian
petunjuk dan peringatan, serta sekaligus upaya perolehan pengetahuan untuk
mendapatkan ketakwaan, bukan menonjolkan diri dan keangkuhan (intelektual).
Implementasi ilmu dikalangan mahasiswa sebagian besar hanya dilakukan
di dalam kampus saja dan sedikit di luar kampus atau dalam kehidupan sosial
masyarakat. Perilaku di dalam kampus sangatlah tergantung pada aturan yang
berlaku di dalamnya dan saat di luar kampus mahasiswa bebas berperilaku tanpa
terikat aturan kampus. Implementasi ilmu oleh mahasiswa akan lebih besar
dilingkungan sosial apabila mereka sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan sesuai
dengan spesifikasinya. Namun hal tersebut tidak akan bertahan lama karena
tuntutan dari berbagai faktor sehingga pada saatnya akan berkurang dan kemudian
melenceng dari tujuan utamanya. Selain itu, mahasiswa mau membagi ilmunya jika
diminta oleh mahasiswa yang lain bukan tumbuh dari kesadaran diri.
Selain dalam keilmuan, penulis juga mencatat bahwa di pesantren juga
tidak melupakan kehidupan bernegara. Mereka juga melaksanakan upacara bendera
sebagai wujud rasa cinta tanah air atau nasionalisme terhadap NKRI. Kita
menganggap pesantren identik dengan kebiasaan-kebiasaan seperti memakai sarung,
baju muslim, disiplin, dan lain sebagainya karena aturan yang dijalankannya.
Namun bagi para santri, itu semua adalah pembiasaan yang mereka jalani tanpa
ada unsur paksaan dari pihak pesantren. Mereka bersikap seperti itu karena mereka
sadar hidup jauh dari orang tua maka harus bisa hidup mandiri. Mereka juga
menganggap bahwa kebiasaan-kebiasaan itu banyak sekali manfaatnya. Seorang
santri yang bernama Ahmad
Khidir Khalil mengatakan, ‘saya menggunakan sarung ini bukan karena
diharuskan oleh pesantren, tetapi karena mudah memakainya saat tergesa-gesa dan
efektif. Satu lagi, makai sarung itu tidak gerah, rasanya sejuk’.
Setelah melakukan kuliah lapangan dan kemudian membuat perincian di
atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan keilmuan dilihat tiga dimensi keilmuan yaitu ontologi, epistemologi, dan
aksiologi yang terdapat di pesantren dengan
keilmuan yang terdapat di kampus. Ilmu dipandang dan menempati posisi yang
sangat penting dalam Islam. Di
pesantren, yang diutamakan adalah mempelajari ilmu agama dan memahami ilmu
dengan cara mengkaji dan bersumber hanya pada Al-Qur’an, Hadist dan kitab-kitab
wajib seperti kitab kuning. Cara yang dipergunakan untuk mendapatkan ilmu itu
adalah dengan metode atau sistem Sorogan dan Bandongan yang berpusat pada Kiai
dan ustadz. Kemudian mengamalkannya sebagai rutinitas dan Istiqomah sesuai
dengan kaidah di dalam maupun di luar pondok. Di kampus, memahami ilmu melalui
dari berbagai literatur dan dalam mendapatkan ilmu itu dapat menggunakan banyak
metode serta dapat mengimplementasikan ilmunya dengan cara yang berbeda di
dalam maupun di luar kampus.
REFERENSI :
A’la, Abd, 2006, Pembaruan
Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Anonim, 2010, Biografi
K.H Mufid Mas’ud, http://pandanaran.org/index.php/khmufid/biografi,
diakses tanggal 07 Januari 2012.
Nasir,
M. Ridlwan, 2005, Mencari Tipologi Format
Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
0 komentar:
Posting Komentar