Pages

Labels

Senin, 24 Juni 2013

PERBEDAAN KEILMUAN PESANTREN DAN KAMPUS

Oleh: Sukma Jati Setya W.

Banyak sekali cara pandang atau paradigma dalam dunia keilmuan yang terjadi pada masing-masing individu yang kini dianggap sudah biasa karena perbedaan itu dapat menguatkan kebenaran satu ilmu atau bahkan menolak ilmu tersebut dengan kebenaran yang lain sehingga akan menghasilkan berbagai macam ilmu yang sebenarnya ilmu-ilmu itu benar karena sudah dibuktikan. Sama halnya dengan cara pandang terhadap dunia keilmuan di dalam pesantren dan kampus yang sama-sama menjadi tempat untuk menuntut ilmu. Dan tujuan tulisan ini adalah untuk mencoba menjawab perbedaan-perbedaan yang terjadi tersebut sesuai dengan hasil kuliah lapangan di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran yang beralamatkan di dusun Candi, desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Dengan melakukan kuliah lapangan, penulis mendapatkan fakta-fakta menarik sebagai bahan yang memudahkan penulis untuk menyelesaikan tulisan tentang perbedaan cara pandang keilmuan di pesantren dan di kampus ini. Dalam membahas masalah perbedaan capa pandang keilmuan di pesantren dengan kampus, penulis mengkaji melalui tiga dimensi keilmuan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Sebelum membahas masalah perbedaan diatas, penulis akan menyampaikan biografi singkat dari pemimpin pesantren. Pesantren identik dengan adanya sosok Kiai yang memimpin, samadenganhalnya pesantren ini juga memiliki pemimpin atau Kiai yaitu KH. Mufid Mas’ud. Beliau mendapatkan bimbingan keagamaan langsung dari orang tua, pendidikan dasar KH Mufid Mas’ud ditempuh di Madrasah Ibtidaiyah Manbaul ‘Ulum cabang Solo selama lima tahun, yaitu mulai tahun 1937 hingga 1942, kemudian beliau melanjutkan nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di tahun 1950, KH Mufid menikah dengan putri KH. Munawir (pengasuh Pesantren Krapyak), Hj. Jauharoh dan ejak saat itu, KH Mufid termasuk salah satu pengasuh Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta (Anonim 2010).
Meski demikian, beliau masih tetap mengaji Al-Qur’an kepada KH Abdul Qadir dan KH Abdullah Affandi. Sedangkan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya, beliau mengaji kitab kepada KH Ali Maksum. Beliau menyampaikan bahwa di dalam menuntut ilmu ada hal lain yang harus dijalankan oleh seorang pencari ilmu agar mendapatkan ilmu yang berkah yaitu ‘shuhbatu ustazin atau taat dan bersahabat karib dengan guru seperti yang disampaikan oleh Imam Syafi’I (Anonim 2010).
Menurut Nasir (2005), kepemimpinan Kiai dapat merupakan pola-pola yang mengandung dua unsur dominan karismatik-tradisional atau tradisional-rasional, atau dapat merupakan pola-pola di mana ketiga unsur itu ada yakni karismatik-tradisional-rasional hanya saja salah satunya lebih menonjol. Bersamaan dengan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran yang menggunakan mahzab Khanafi yang mengutamakan rasionalitas maka gaya kepemimpinan KH Mufid Mas’ud juga menggunakan pola kepemimpinan rasional yang dipandang lebih sesuai untuk memacu perkembangan pendidikan pondok pesantren. Dengan alasan perlu adanya kesinambungan pesantren, kepemimpinan pesantren, bila dipandang perlu, bisa diteruskan oleh orang-orang yang bukan dari keluarga Kiai pendiri.
Dimensi ontologi akan dimulai dengan pernyataan dari A’la (2006) yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan menempati posisi signifikan dalam Islam. Melalui ilmu pengetahuan, manusia dibedakan dengan makhluk-makhluk lain, termasuk malaikat. Oleh karena itu, ketika Allah menciptakan Adam, Ia secara bersamaa membekalinya dengan pengetahuan. Pengetahuan diturunkan Allah sebagai bekal manusia dalam rangka memikul amanah kekhalifahan, yaitu pemanfaatan alam secara lestari, seimbang, dan berwawasan lingkungan, serta penuh kearifan. Manusia dituntut agar bisa menguasai selain ilmu  syari’ah dan ‘aqliyah, juga aspek yang tidak kalah penting adalah pengamalannya yang utuh dalam bentuk pengembangan moralitas. Melalui penguasaan ilmu dan pengembangan moral  itu, manusia mampu mengetahui tabiat alam secara tepat sehingga dapat memanfaatkan sebaik mungkin sesuai dengan sifat dan kemampuan alam, serta mampu digunakan dan disebarkan untuk diabdikan kepada kepentingan dan kebaikan umat manusia.
Dalam kehidupan di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran yang paling utama adalah mempelajari ilmu agama yang bepegang atau bersumber pada Al-Qur’an, Hadist, dan kitab-kitab yang wajib dipelajari seperti kitab kuning atau kitab Ta’limun Muta’alim dan tidak ada sumber lain yang dapat menggantikan ketiganya karena dalam mempelajari ilmu agama hanya terbatas pada sumber-sumber tersebut. Hal ini sesuai dengan geneologi keilmuan (spesifikasi) yang dianut oleh pesantren yaitu menghafal Al-Qur’an (tahfidz). Geneologi keilmuan yang dianut oleh satu pesantren tidak lepas dari sejarah terbangunnya pesantren itu atau jaringan yang dimiliki oleh penggagas pendirian pesantren tersebut. Seperti pesantren ini yang dipimpin oleh KH. Mufid Mas’ud yang merupakan lulusan santri dari Pesantren Krapyak yang mempunyai spesifikasi menghafal Al-Qur’an maka di pesantren yang didirikannya juga memiliki spesifikasi menghafal Al-Qur’an.
Dalam mempelajari ilmu agama yang dilakukan adalah menghafal Al-Qur’an dan mengerti segala sesuatu yang terdapat di dalamnya dan kemudian mengamalkannya, memahami dan menjalankan sifat-sifat dan apa-apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yaitu yang tertera dalam hadits dan mempelajari serta menghafal semua yang berada dalam kitab kuning. Namun pesantren ini juga tidak melupakan ilmu-ilmu yang dipelajari pada pendidikan formal yang bermanfaat untuk kehidupan di dunia. Segala ilmu-ilmu dalam pendidikan formal yang dipelajari  didasarkan pada sumber-sumber di atas juga dalam beribadah, berperilaku, dan kehidupan bermasyarakat. Selain itu, di pesantren terdapat tradisi-tradisi yang tidak tertulis atau lebih dikenal dengan tradisi lisan yang tertanam lebih kuat secara turun temurun.
Sesuai dengan paragraf keempat di atas, Pondok Pesantren Sunan Pandanaran menggunakan mahzab Khanafi yang merupakan mahzab yang mengutamakan rasionalitas. Di pesantren ini rasionalitas dalam keilmuan memang diutamakan namun dengan adanya rasionalitas itu tidak akan menyebabkan berkurangnya tingkat keimanan atau kepercayaan santri terhadap agama Islam. Dengan adanya cara berpikir yang rasional maka siswa atau santri di pesantren tersebut ditekankan pada pemahaman akal secara rasional empiris dalam mengkaji ilmu agama dan dituntut untuk memiliki kualitas akademik yang tinggi atau memiliki intelektualitas. Bahkan karena tuntutan perubahan zaman, saat ini seorang Kiai yang mempunyai pengetahuan ilmu yang paling tinggi harus melanjutkan pendidikan formal sampai sarjana dan bahkan sampai memperoleh gelar profesor di universitas luar negeri.
Kenyataan di atas berbeda sekali dengan keilmuan di kampus yang mempelajari ilmu-ilmu umun dan memiliki banyak sekali sumber atau literatur sebagai penunjang yang disediakan di perpustakaan. Literatur-literatur penunjang tersebut dapat melengkapi satu dengan yang lain bahkan dapat menggantikan literatur lainnya. Selain itu, kampus tidak memiliki geneologi seperti di pesantren yang hanya fokus pada satu macam bidang tertentu namun mencakup semua bidang. Hanya terjadi peniruan nama fakultas dan jurusan dari satu kampus oleh kampus lain karena pihak peniru biasanya mengambil ilmu dari yang ditirukan. Kampus dalam menggunakan rasionalitas lebih diutamakan karena ilmu dianggap sesuatu yang dihasilkan dari pemikiran manusia yang dapat diterima oleh akal sehat (rasional) dan dapat dibuktikan dan ilmu yang irasional ditolak mentah-mentah karena tidak dapat diterima dengan akal sehat dan sulit untuk dibuktikan. Termasuk tradisi yang tidak tertulis juga tidak dapat diterima di kampus karena sulit dibuktikan.
Epistemologi keilmuan di pesantren menurut A’la (2006)  metode belajar mengajar yang tepat yang harus bermuara kepada aktivitas yang sarat nilai-nilai kependidikan, yaitu ilmu dan amal sekaligus untuk dikembangkan. Al-Attas (dikutip oleh A’la 2006) proses tersebut hendaknya merupakan kegiatan pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam keteraturan penciptaan yang dapat membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan wujud Tuhan yang tepat dalam tatanan ini. Pada saat yang sama, hal itu akan menyadarkan untuk mengamalkannya sesuai nilai dan ajaran yang terdapat dalam pengetahuan tersebut. Secara konkret, kegiatan yang harus dijalani dalam proses belajar mengajar melibatkan dua aspek kegiatan pokok, ta’allum dan tafakkur. Yang pertama mensyaratkan usaha yang sungguh-sungguh untuk memperoleh pengetahuan melalui pemahaman yang benar, sedang yang kedua meniscayakan upaya reflektif (tafakkur) tentang hakikat ilmu, kegunaan, dan tujuannya.
Ilmu-ilmu yang didapatkan di pesantren berasal dari Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT yang memiliki kekekalan, hadits yang berisi ajaran-ajaran yang diberikan Rasulullah serta perilakunya, selain itu juga terdapat kitab kuning. Dalam mempelajari ilmu, terdapat beberapa metode atau sistem pembelajaran yang diterapkan di pesantren yang diantaranya paling sering dipergunakan adalah sistem Sorogan dan sistem Bandongan serta menggunakan sistem lain yang baru dan lebih baik. Sistem Sorogan merupakan cara pembelajaran saat Kiai ataupun ustadz mengajarkan Al-Qur’an dan hadits kitab kuning para santri mendengarkan dan bila perlu mencatat yang penting agar memudahkannya dalam menghafal. Pada waktunya santri yang sudah belajar akan menyetorkan hasil belajarnya yaitu berupa hafala kepada Kiai maupun ustadz sebagai syarat kelulusan nyantri.
Sedangkan metode Bandongan merupakan cara belajar hanya dengan mendengarkan apa saja yang diberikan oleh Kiai maupun ustadz secara terperinci kemudian mencatatnya dan menyimpulkan sendiri. Kedua metode ini tidak memberikan batas waktu kepada para santrinya dalam hal kelulusan seperti di kampus. Di pesantren jika santri memang benar-benar belum dapat menghafalkan secara baik dan benar maka akan diberikan kesempatan sampai mereka benar-benar hafal dengan baik dan benar. Dari kedua metode atau sistem tersebut, yang sering digunakan adalah sistem Sorogan karena dianggap paling efektif dan efisien. Dengan sistem Sorogan, siswa dapat lebih tahu bagaimana pengucapan-pengucapan yang benar dalam membaca Al-Qur’an dan hadits serta kitab kuning dengan memerhatikan secara langsung pengucapan yang benar dari Kiai maupun ustadz. Dalam pengajaran sistem Sorogan maupun sistem Bandongan yang paling berperan aktif adalah ustadz karena jumlah santri yang sangat banyak jadi Kiai tidak dapat mengajar seluruhnya dan juga karena Kiai yang sedang melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.
Menurut Nasir (2005) pesantren telah mampu mempertahankan keberadaanya dari zaman ke zaman, pesantren selalu mengalami perubahan dan pergeseran sesuai dengan konteks zamannya. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki daya elastis tinggi dan menunjukkan pandangan yang terbuka dengan sistem di luar dirinya. Pondok pesantren yang demikian, karena pengasuhnya (Kiai) mempunyai wawasan yang luas dan senantiasa berpegang pada kaidah “Memelihara yang baik dari tradisi lama, dan mengambil yang lebih baik dari perubahan baru”. Kaidah inilah yang menjadikan pondok pesantren maju dan tidak kehilangan ciri khasnya (identitas).
Berbeda dengan sistem perkuliahan di kampus yang menggunakan berbagai macam cara seperti pengajaran langsung, diskusi, presentasi mahasiswa, kuliah lapangan, praktek, dan lain sebagainya yang diantara itu sebenarnya tidak jauh beda dengan sistem yang diterapkan di pesantren. Sistem-sistem tersebut menuntut mahasiswa untuk lebih aktif dalam proses perkuliahan karena dosen hanya menyampaikan konsep-konsep. Mahasiswa juga dituntut untuk dapat menganalisis sendiri mengenai kejadian-kejadian dan konsep-konsep yang diberikan oleh dosen guna mengembangkan kemampuan keilmuannya. Selain itu, di kampus terdapat sistem kredit atau batas limit waktu. Contohnya jika mahasiswa tidak lulus pada mata kuliah tertentu pada semester gasal maka ia juga harus mengulang disemeter gasal tidak dapat langsung mengulang pada semester berikutnya atau disemester genap.
Aksiologi keilmuan di pesantren dengan di kampus terdapat kesamaan namun juga terdapat perbedaannya. Persamaannya adalah setiap ilmu yang didapatkan harus diamalkan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi pesantren, sebaik-baiknya ilmu itu lebih baik lagi ilmu yang dijadikan sebagai perilaku sehari-hari dengan kata lain diamalkan agar tidak hanya sebagai wacana saja. Pengamalan ilmu di pesantren dilakukan secara kontinyu (rutinitas) karena tujuan dari pesantren adalah pembiasaan (Istiqomah) untuk menjaga rutinitas. Pengamalan ilmu di dalam kehidupan sosial di pondok maupun di luar pondok haruslah baik sesuai dengan kaidah agama begitu pula dengan santri yang sudah keluar dari pondok. Selain mengimplementasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, santri yang lebih senior membagi ilmu yang dimilikinya pada sesama santri ataupun yang lebih junior dan itu tumbuh dari kesadaran diri.
A’la (2006) menyampaikan setelah mengerti dan mendapatkan ilmu serta tahu manfaat dan tujuannya maka santri seharusnya mengamalkannya secara kreatif, bertanggung jawab, serta tetap berpijak pada nilai-nilai moral (seperti keikhlasan, kemandirian, tawadhu’) yang dikaitkan dengan tuntutan kehidupan yang terus berkembang. Nilai-nilai moral itulah yang akan mengantarkan manusia pada fitrahnya sebagai theomorfic being, yakni sebagai manusia yang berupaya berperilaku sesuai sifat-sifat Allah dan mewartakan misi kerasulan Nabi. Pada gilirannya, hal itu akan menjadikan manusia selalu berupaya mencapai kualitas, dan bukan kuantitas, serta perolehan nilai-nilai kesalehan, bukan kesasehan semata. Konkretnya, pendidikan di pesantren adalah proses dua arah yang melibatkan pemberian pengetahuan sebagai upaya pemberian petunjuk dan peringatan, serta sekaligus upaya perolehan pengetahuan untuk mendapatkan ketakwaan, bukan menonjolkan diri dan keangkuhan (intelektual).
Implementasi ilmu dikalangan mahasiswa sebagian besar hanya dilakukan di dalam kampus saja dan sedikit di luar kampus atau dalam kehidupan sosial masyarakat. Perilaku di dalam kampus sangatlah tergantung pada aturan yang berlaku di dalamnya dan saat di luar kampus mahasiswa bebas berperilaku tanpa terikat aturan kampus. Implementasi ilmu oleh mahasiswa akan lebih besar dilingkungan sosial apabila mereka sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan spesifikasinya. Namun hal tersebut tidak akan bertahan lama karena tuntutan dari berbagai faktor sehingga pada saatnya akan berkurang dan kemudian melenceng dari tujuan utamanya. Selain itu, mahasiswa mau membagi ilmunya jika diminta oleh mahasiswa yang lain bukan tumbuh dari kesadaran diri.
Selain dalam keilmuan, penulis juga mencatat bahwa di pesantren juga tidak melupakan kehidupan bernegara. Mereka juga melaksanakan upacara bendera sebagai wujud rasa cinta tanah air atau nasionalisme terhadap NKRI. Kita menganggap pesantren identik dengan kebiasaan-kebiasaan seperti memakai sarung, baju muslim, disiplin, dan lain sebagainya karena aturan yang dijalankannya. Namun bagi para santri, itu semua adalah pembiasaan yang mereka jalani tanpa ada unsur paksaan dari pihak pesantren. Mereka bersikap seperti itu karena mereka sadar hidup jauh dari orang tua maka harus bisa hidup mandiri. Mereka juga menganggap bahwa kebiasaan-kebiasaan itu banyak sekali manfaatnya. Seorang santri yang bernama Ahmad Khidir Khalil mengatakan, ‘saya menggunakan sarung ini bukan karena diharuskan oleh pesantren, tetapi karena mudah memakainya saat tergesa-gesa dan efektif. Satu lagi, makai sarung itu tidak gerah, rasanya sejuk’.
Setelah melakukan kuliah lapangan dan kemudian membuat perincian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan keilmuan dilihat tiga dimensi keilmuan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang terdapat di pesantren dengan keilmuan yang terdapat di kampus. Ilmu dipandang dan menempati posisi yang sangat penting  dalam Islam. Di pesantren, yang diutamakan adalah mempelajari ilmu agama dan memahami ilmu dengan cara mengkaji dan bersumber hanya pada Al-Qur’an, Hadist dan kitab-kitab wajib seperti kitab kuning. Cara yang dipergunakan untuk mendapatkan ilmu itu adalah dengan metode atau sistem Sorogan dan Bandongan yang berpusat pada Kiai dan ustadz. Kemudian mengamalkannya sebagai rutinitas dan Istiqomah sesuai dengan kaidah di dalam maupun di luar pondok. Di kampus, memahami ilmu melalui dari berbagai literatur dan dalam mendapatkan ilmu itu dapat menggunakan banyak metode serta dapat mengimplementasikan ilmunya dengan cara yang berbeda di dalam maupun di luar kampus.


REFERENSI :
A’la, Abd, 2006, Pembaruan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Anonim, 2010, Biografi K.H Mufid Mas’ud, http://pandanaran.org/index.php/khmufid/biografi, diakses tanggal 07 Januari 2012.
Nasir, M. Ridlwan, 2005, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sabtu, 29 Desember 2012

(@ArdiansyahBA)

Gue punya cerita nih tentang temen gue yang unik :D

Bocah satu ini bernama Ardiansyah Bahrul "Bahlul" Alam .
Mahasiswa asal Banten ini punya keahlian di bidang grafis tapi juga punya kebiasaan yang menjijikkan hha :D lihat saja foto diatas, ieeeeeeeek, dimanapun tempat dan situasinya selalu mengupil. parahnya lagi hasil mengupilnya itu dibuang sembarangan :p lihat aja disekeliling dia duduk pasti ada bekas upilan yang tercecer. Ada sih beberapa teman yang jadi korbannya kaya @claraanugrah @nawnawarum @adriandharmawan @realalangriha @deydiana @ekamara16 @nuzulanabila hha
Yahhhhhh meskipun begitu dia mahasiswa yang sangat aktif, smart, rajin sholad pula dan yang terpenting satu, bukan jomblo lagi meeeeeeeeeeeeeeeeeeennnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn, salut pokoknya hha :D

Kamis, 01 November 2012

"Konyol" atau "Pekok" ?? hhe

Ini cerita mas kunto yang terjad dihadapan beratus-ratus orang

ini cerita ku (Kunto) saat jadi Panitia KBTB 34 th 2009 di kedung wanglu Playen Gk.. Sma 1 Wonosari..
.......................
sebagai korlap, Kunto memegang, HT di tangannya.. kemudian
sssrrssrrrrkk.. : Kunto Monitor, Ganti..!
Kunto : kunto masuk, ada apa pak, ganti?
P.yerry : segera menuju ke mobil, ada pesan penting, Ganti,,!!
Kunto : 86, bisa di copy, kunto segera meluncur.!!
.di tengah Malam, Di depan mobil putih yang parkir di tepi jembatan...bersama Pak Yerry, Pak Gi', Dian kurniawan & wawan (ngumpet di blk))
.....
.....
P. Yerry : kunto, kamu saya tugaskan untuk "menc*ri" wireless, terus, sembunyikan di tempat yang aman...untuk skenario penjebakan peserta besuk pagi..(nada serius)
Kunto : (lagi Iritasi di bagian vitalny) siap pak.. laksanakan..!!
kunto Lari langsung menc*ri wirelss untuk di sembunyikan..(sambil menahan rasa perih karena iritasi)
after a while...
Kunto : (sambil pekekah-pekekeh) ini pak wirelessnya...
P. yerry : bagus kunto, kamu hebat, ayo segera sembunyiakan di tempat yang aman, jangan sampai ketahuan yang lain, cepat... (dengan nada serius [Padahal mung mbombong])
kunto : (dengan amat serius [tanpa sadar kalau di bombong]) saya umpetkan di bagasi mobil pak...!!
P. yerry : bagus.. bagus.. wes gek kamu istirahat sana..
kunto : siap pak..
..
..
..
in the morning, when the sun shine above us, pak yerry pergi untuk mengawasi Ujian Nasional, dan meninggalkan pak sugeng sendirian sebagai pembina...(sebelum pergi pak yerry telah berkordinasi dengan P.sugeng tentang sekenario penjebakan)

..dan masalah pun mulai terjadi saat "skenario jebakan akan di mulai"
..
..
pak sugeng mencari wireless
..
then.. sekitar pukul 6.45...
....
Kunto ; (dengan lugu, mendekati pak sugeng) pak tadi malam saya menc*ri wireless, atas perintah P. yerry
P. sugeng : (langsung dijawab) baik, kamu jadi tumbalnya ya.. (dengan serius)
Kunto : waduh..pak .. (takut, n panik, karena saat itu kunto tidak tahu kalau pak sugeng dan pak yerry sudah ada komunikasi)
..
...
...
...
Pak sugeng : (pake pengeras suara) Kepada seluruh panitia KBTB 34 harap segera berkumpul ke sumber suara, ulangi Kepada seluruh panitia KBTB 34 harap segera berkumpul ke sumber suara terima kasih..
Panitia : (Kaya Domba the sheep pada berlarian menuju ke sumber suara[ada PMR, PKS, Pwana, Pembantu]dll)
Pak sugeng : saya dari tadi pagi mencari wireless mana wirelessnya?? (nada marah)
Panitia : pating dlongop (ada yang tahu juga ada yang tidak))
Pak sugeng : Kunto..! aku mau bengi ngerti terakhir kw sing nggowo wireless (karo mbesengut, medeni koyo b*t*)
Kunto : (bingung, arep mbocorke rahasiane pak yerry ora yoo akeh panitia je??) saya tidak tahu pak...!!
Pak sugeng : apa ? ada yang tahu dimana wirelessnya?
Pak sugeng : (intine marah-marah) lalu ayo semua ke lapangan,, za'im ambil alih.. (batinku : *s* lha kok zaim le ambil alih??)
...
...
...
..
Zi'im :(di tengah lapangan ) komando saya ambil alih.. siap grak.. ambil antara..!!
Semua panitia, mengikuti aba-aba zaim termasuk Adek , Ilma, Hafis, dll
Za'im : (so'k cool plus sok sok'an..) ambil posisi push up..!!!
..
di sambung pak sugeng...
..
Pak sugeng : Panitia tidak bertanggung jawab, wireless sampai hilang,, ayo semua ikuti aba-aba....guling kanan 7 kali...
Panitia : (+goblok) sela-selane gelem ngguling"...
Pak sugeng : Guling kiri 7 kali
Panitia : (lagi-lagi goblok) sela-selane gelem ngguling" maneh..
Pak sugeng : (perintahnya banyak) guling depan, belakang, kanan, kii... dlll
..
..
..
Pak Sugeng : semalam kunto yang terakhir make....hayo... KUNTOOOO WIERELESSNYA MANA???
kunto : (lugu plus ketakutan) DIMOBIL PAAAAAKKKK...!!!!
Dian  : (dengan santai dan tanpa bersalah) DI BAGASI BELAKANG..!!!
Pak sugeng, wawan, zaim ; (ekspresi sama... wooo lha tello kw ki kun..!!!!
...rahasia malah di bocorke, gagal sekenario penjebakan pesertane.. telllo...
....
Pak sugeng : yoo, wis, khusus kunto dw.. mbrangkang soko kene, teken kono,, ping 3...

...
...
akhirnya aku pun mbrangkang sendiri...
...
malam yang panjang dan sulit untuk di lupakan, ternyata...
....
.....
.....
semoga bisa menginspirasi adik-adik, dan temen temen ambalan sman 1 wonosari

..

Minggu, 14 Oktober 2012

"BLANK"

Simulasi Pendakian (Simdak) gunung berapi purba Langgeran 2010
@izulzakki @sukmajati_ and Anissaa Puspasari
Pendidikan Lanjut (Dikjut) Delta, nDrini 2010
@sukmajati_





WPBP SMA 1 Wonosari 2011
@izulzakki and @goenxXx

"POCI"



Sambil menikmati suguhan teh poci pesananku, tiba-tiba terlintas beberapa kenangan kejadian yang kualami sebelumnya. Ya memang beberapa hari terakhir aku sedang merasa terpuruk. Apa yang sebenarnya aku butuhkan untuk bangkit dari keterpurukan itu ? sebenarnya hanyalah sederhana, yaitu “tertawa”. Terkadang tertawa riang bersama tidak memandang sudah berapa lama kita berteman dengan seseorang. Benar saja, malam itu disebuah tempat yang bernama “Angkringan Ndhelik” aku adalah angkatan termuda dan berbeda jurusan  dengan delapan orang itu. Beberapa sudah pernah bertemu dan sisanya baru bertemu malam itu. Usia dan identitas bukan menjadi halangan bagiku untuk membaur bersama mereka.